A. ANGKA HIV AIDS DI INDONESIA
Prevalensi HIV
dan AIDS di Indonesia secara umum memang masih rendah, tetapi Indonesia telah
digolongkan sebagai negara dengan
tingkat epidemi yang terkonsentrasi (concentrated
level epidemic) yaitu adanya pervalensi lebih dari 5% pada sub populasi
tertentu misalnya penjaja seks dan penyalahgunaan NAPSA (Narkotika,
Psikotropika dan Zat Adiktif) (Nuning Kurniasih Dkk, 2006).
Faktor utama
terjadi ledakan epidemi HIV dan AIDS di Indonesia pada tahun 2006 dari jumlah
kasus HIV dan AIDS 13.424 kasus (HIV 5.230 dan AIDS 8.194 kasus) adalah
penggunaan narkoba dengan jarum suntik yang tidak steril (IDU) yaitu 50,3%.
Sedangkan pada kelompok heteroseksual yaitu 40,3% tidak termasuk homoseks,
dengan estimasinya dari Ditjen PP & PL Depkes RI untuk heteroseks, kasus
HIV pada wanita PSK pada tahun 2006
berjumlah 8,910 0rang. Pelanggan
dari penjaja seks yang diestimasikan tertular HIV berjumlah 28.340 kasus dan
pasangan pelanggan mereka yang di perkirakan tertular HIV 5200 kasus, yang
jumlahnya secara keseluruhan 40,3% dari jumlah kasus HIV DAN AIDS keseluruhan
(Nuning Kurniasih Dkk, 2006).
Pada tahun 2007, perkembangan situasi epidemi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) menunjukan peningkatan yang sangat tajam. Jumlah
kasus HIV dan AIDS meningkat terus, dilaporkan pada akhir tahun 2007 terdapat
11.141 pasien AIDS dan 6.066 orang HIV positif. Bahkan hingga 31 maret 2008,
kasus AIDS sudah mencapai 11.868 yang terjadi di 32 propinsi dan 194 kabupaten
kota. Secara propinsi, rate kumulatif
per jumlah penduduk kasus AIDS tertinggi dilaporkan terjadi di Papua
(14,4 kali angka nasional) di susul DKI Jakarta (6,5 kali), dan Bali (4,4
kali), (Ditjen PP dan PL Depkes 2008).
Kasus HIV dan AIDS, lebih
banyak didominasi olah kelompok usia 15-49 tahun sebagai kelompok usia yang
aktif dalam massa produktif dengan jumlahnya kasusnya adalah 94.2% dari jumlah
total kasus HIV dan AIDS didunia (Nuning Kurniasih Dkk, 2006)
1. Situasi HIV Juli – September 2013
- Jumlah infeksi HIV baru sebanyak 10.203 orang
- Infeksi HIV tertinggi ada pada kelompok umur 25-49 tahun (73,4%); kelompok umur 20-24 tahun (14,7) dan kelompok > 50 tahun (5%)
- Rasio HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1
- Faktor risiko tertinggi adalah hubungan seks berisiko pada heterseksual (51,7%), penggunaan jarum suntik tidak steril (11,6%); Lelaki Seks Lelaki (10,6%)
2. Situasi AIDS Juli – September 2013
- Jumlah AIDS yang dilaporkan baru sebanyak 1.986 orang
- Presentase AIDS tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun (39.5%); 20-29 tahun (22,3%) dan 44-49 tahun (22,1%)
- Rasio AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1
- Presentase risiko AIDS tertinggi adalah seks heteroseksual (81,9%); Jarum suntik tidak steril (6,5%), LSL (5,2%) dan ibu positif HIV ke anak (4,3%)
B. KELOMPOK DAN PERILAKU BERISIKO
Berdasarkan
pengamatan penularan penyakit HIV dan AIDS dapat disimpulkan tiga modus
transmisi HIV antara lain :
a. Penularan virus
HIV yang paling sering melalui hubungan seksual yaitu virus tersebut dapat
menular dari orang yang sudah terinfeksi dengan HIV kepada lawan mainnya (pria
dan wanita). Ini adalah cara yang paling umum, meliputi 80-90% dari total kasus
sedunia.
b. Penularan melalui
darah terjadi karena transfusi dengan darah atau produk yang terinfeksi HIV,
melalui jarum yang tidak steril. Resikonya sangat tinggi sampai 90% . ditemukan
sekitar 3-5% dari total kasus sedunia.
c. Secara vertikal,
dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, baik sedang hamil, saat melahirkan
atau setelah melahirkan. Risiko sekitar 25-40% dan terdapat 0,1% dari total
kasus dunia (Soekidjo Notoatmodjo, 2007).
Secara khusus
dikenal berbagai cara penularan AIDS yang dapat melalui:
a. Transeksual
Penyebaran HIV
awalnya terbanyak pada cara ini. Penularan dapat terjadi terhadap heteroseks,
homoseksual maupun pada biseks. Perilaku sering berganti-ganti pasangan ataupun
berhubungan seks dengan penderita merupakan kasus terbanyak dengan cara ini. Hubungan
seks melalui anus lebih berisiko
terinfeksi HIV daripada melalui alat genital. Hal ini disebabkan karena
anus lebih peka terhadap gesekan daripada alat genital.
b. Transfusi
HIV juga bisa
melalui transfusi darah dari penderita kepada reseptor atau penerima transfusi
darah tersebut. Banyak kejadian menyebutkan bahwa petugas donor darah sulit
mendeteksi apakah orang yang akan mendonorkan darahnya tersebut bersih dari HIV
atau tidak. Kasus ini banyak terjadi di Rumah sakit atau tempat-tempat
pelayanan kesehatan lainnya. Penularan juga bisa terjadi pada alat-alat
transfusi yang tidak steril dan dipakai secara berulang-ulang seperti jarum
suntik, tindik, tatto atau alat-alat lainya yang dapat menimbulkan luka yang
tercemar HIV.
c. Transplacenta
Seorang ibu yang
positif HIV dan sedang mengandung, dapat menularkan penyakit tersebut kepada
janin yang dikandungnya atau disebut transplacenta. Janin yang berada dalam
tubuh seorang ibu yang positf HIV secara otomatis mendapatkan intake dari
induknya yang kemungkinan besar termasuk HIV. Namun dalam beberapa kasus ada
bayi yang negatif HIV walau ibunya sudah dipastikan positif, namun kasus ini
masih jarang ditemukan.
d. Transparental
Transparental
berkaitan dengan kehidupan di rumah tangga dimana penularan HIV terjadi dari
seorang suami kepada istrinya ataupun sebaliknya. Seorang suami atau istri yang
memiliki mobilitas tinggi di luar rumah biasanya lebih berisiko terkena HIV
daripada yang mobilitasnya rendah. Bisa saja seorang suami atau istri membawa
HIV kedalam rumahnya sebagai oleh-oleh dari tugas keluar kota atau keluar
negeri.
e. Transportasi
Faktor
transportasi ikut menunjang penyebaran AIDS ke seluruh dunia maupun secara
lokal. Hal ini memungkinkan HIV yang dibawa oleh penumpang maupun supir
kendaraan berpindah ke jalur perjalanan maupun lokasi tujuan perjalanan.
f.
Tourisme
Arus turisme (Tourisme) baik domestik maupun
mancanegara yang semakin cepat mengakibatkan interaksi dan komunikasi sosial
yang bisa menyebabkan hubungan seksual yang menjembatani terjadinya penularan
HIV kepada masyarakat luas.
g. Transakatifitas
Maju dan
berkembangnya dunia bisnis memberi kemungkinan hubungan antar manusia lebih
intens dan komunikasi yang luas antar pelaku bisnis atau para pekerja migran
yang meninggalkan rumah/keluarga menjdi rentan untuk kemudian tertular atau
menularkan HIV.
h. Transplantasi
Temuan terbaru
dari cara penularan HIV yaitu dengan trasnplantasi. Organ-organ tubuh yang
ditransplantasikan bisa saja berasal dari penderita HIV sehingga orang yang
menerima transplantasi tersebut kemungkinan besar tertular HIV (Bustan, 2000).
Sejatinya, semua yang dilakukan oleh Pelacur/ PSK memenuhi semua unsur dari pengertian "pekerja" yaitu :
- ada majikan/mucikari sebagai pemberi kerja
- berhubungan dengan produksi dan produktivitas jasa seks
- biasanya dilakukan secara terus menerus sampai PSK menikah dan atau punya pasangan tetap, sudah kaya/punya modal usaha dan atau sudah tua
- bahwa pemberian jasa sekssungguh-sungguh dilakukan demi uang dan atau karena alasan ekonomi (Anonim, 2007).
C. UPAYA
WHO
merekomendasikan program ABCDE untuk upaya pencegahan AIDS, yaitu :
a.
Abstinence, artinya tidak melakukan hubungan seks
sebelum menikah.
b. Being Faithful, artinya jika sudah menikah hanya melakukan hubungan seks dengan pasangannya saja.
c. Condom, artinya jika memassang cara A dan B tidak bisa dipatuhi maka harus digunakan alat pencegahan dengan menggunakan kondom.
d. Drugs injection, artinya tolak penggunaan NAPZA.
e. Education, artinya pendidikan dan penyuluhan kesehatan tentang hal-hal yang brkaitan dengan HIV dan AIDS.
b. Being Faithful, artinya jika sudah menikah hanya melakukan hubungan seks dengan pasangannya saja.
c. Condom, artinya jika memassang cara A dan B tidak bisa dipatuhi maka harus digunakan alat pencegahan dengan menggunakan kondom.
d. Drugs injection, artinya tolak penggunaan NAPZA.
e. Education, artinya pendidikan dan penyuluhan kesehatan tentang hal-hal yang brkaitan dengan HIV dan AIDS.
Kebijakan
• Upaya pencegahan yang efektif termasuk penggunaan kondom 100% pada setiap hubungan seks berisiko, semata-mata hanya untuk memutus rantai penularan HIV.
• Upaya pengendalian HIV dan AIDS merupakan upaya-upaya terpadu dari peningkatan perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, pengobatan dan perawatan berdasarkan data dan fakta ilmiah serta dukungan terhadap ODHA.
• Upaya pengendalian HIV dan AIDS diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah, dan LSM berdasarkan prinsip kemitraan. Masyarakat dan LSM menjadi pelaku utama sedangkan pemerintah berkewajiban mengarahkan, membimbing dan menciptakan suasana yang mendukung terselenggaranya upaya pengendalian HIV dan AIDS.
• Upaya pengendalian HIV dan AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat berperilaku risiko tinggi tetapi harus pula memperhatikan kelompok masyarakat yang rentan, termasuk yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kelompok marjinal terhadap penularan HIV and AIDS.
Program
- Intervensi Perubahan Perilaku.
- Konseling dan Tes HIV.
- Perawatan, Dukungan dan Pengobatan.
- Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak.
- Pengendalian IMS.
- Pengurangan Dampak Buruk NAPZA Suntik.
- Kolaborasi TB-HIV.
- Kewaspadaan Universal.
- Pengamanan Darah.
SUDUT PANDANG RUANG, WAKTU DAN ORANG
1.
Gambaran Karakteristik Berdasarkan
Orang
a.
Umur
Untuk kasus HIV
dan AIDS, lebih banyak didominasi olah kelompok usia 15-49 tahun sebagai
kelompok usia yang aktif dalam massa produktif dengan jumlahnya kasusnya adalah
94.2% dari jumlah total kasus HIV dan AIDS didunia (Nuning Kurniasih Dkk, 2006)
b. Status Perkawinan
Kegunaan
informasi tentang variable satatus perkawinan pada pengamatan epidemiologi
ialah untuk mengetahui pengaruh lingkungan terhadap pasangan pasangan suami
istri. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa lebih sering di dapati pasangan
suami istri yang menderita paenyakit menahun dan keadaan ini bukan secara
kebetulan tetapi sangat erat hubunganya sebagai akibat pengaruh dari lingkungan
dan cara hidup pasangan suami istri.
c. Jenis Kelamin.
Pada penyakit HIV dan AIDS hampir 82%
penderita AIDS adalah pada dewasa dan remaja adalah pria. Namun meskipun jumlah perempuan dengan kasus HIV dan AIDS
lebih rendah, namun perempuan lebih rentan tertular. Beberapa study menunjukan bahwa penularan HIV dari laki-laki ke
perempuan melelui hubungan seks dua kali lipat dibandingkan dari perempuan ke
laki-laki (Nuning Kurniasih Dkk, 2006).
d. Pekerjaan
Pada berbagai jenis penyakit yang
timbul pada manusia sering berkaitan dengan jenis pekerjaan seperti pekerja
seks komersial beresesiko terhadap infeksi menular seksual seperti ; sipilis, GO, HIV dan AIDS dan
lain-lain (Ronald Hutapea, 2003).
e.
Agama dan Kepercayaan
Secara tidak
langsung terdapat hubungan antara agama atau kepercayaan dan angka kesakitan
serta kematian pada suatu kelompok masyarakat. Contohnya, resiko menderita
penyakit taeniasis lebih tinggi pada kelompok selain penganut agama islam.
Dalam hal angka kematian, ada kelompok tertentu yang angka kematiannya cukup tinggi,
contohnya aliran kepercayaan atau sekte agama tertentu di AS menyuruh para
pengikutnya melakukan bunuh diri secara massal setelah melakukan upacara
ritual.
f. Pendidikan
g. Pengetahuan
Pendidikan adalah usaha etis dari manusia
untuk manusia dan untuk masyarakat manusia, sehingga dapat mengembangkan semua
bakat seseorang sampai tingkat optimal dalam batas hakekat individu (Wiku
Adisasmoto, 2007). Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses
belajar yang berarti didalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan
atau perubahan ke arah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri
individu, kelompok dan masyarakat (Soekidjo Notoadmojo, 2007).
g. Pengetahuan
Pengetahuan
merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan itu terjadi melalui panca indera
manusia. Pengetahuan juga merupakan domain yang sangat penting dalam
pembentukan perilaku seseorang (Soekidjo Notoadmojo, 2007).
2. Gambaran Karakteristik Berdasarkan Waktu
Waktu merupakan faktor yang cukup
penting dalam menentukan devenisi setiap
ukuran epidemiologis serta merupakan komponen dasar dalam konsep penyebab.
Beberpa kegunaan dari karakteristik waktu antara lain:
1. Dapat digunakan dalam
menentukan massa tunas suatu penyakit menular
tertentu dan massa penularan rata-rata penyakit tersebut.
2. Dapat memberikan gambaran
tentang waktu kejadian maupun waktu keterpaparan serta peristiwa yang mempengaruhi tingkat kerentanan khusus penyakit tertentu umpamanya kegiatan tonsilektomi
yang erat hubungannya dengan terjadinya
wabah poli dalam suatu masyarakat.
3. Efek dari kohort
kelahiran dalam massa yang relatif singkat yang mempengaruhi keadaan penyakit
dalam suatu masyarakat (umpamanya pengaruh imunisasi terhadap perubahan pola
penyakit polio)
Meningkat/menurunya
frekuensi penyakit/wabah menjadi lambat bila wabah tersebut diakibatkan oleh
faktor yang lambat pengaruhnya sehingga dapat menimbulkan wabah yang
berkepanjangan keadaan seperti ini nterutama oleh berbagai penyakit dengan
massa tunas yang lama dan berlangsung terus menerus dalam masyarakat seperti
halnya penyakit HIV dan AIDS melalui kontak langsung (orang ke orang) atau DBD
yang penularannya melalui vektor (Nur Nasry, 2002).
3. Gambaran Karakteristik Berdasarkan Tempat
Tempat merupakan variabel yang sangat penting dalam mempelajari penyebaran
massalah kesehatan karena jumlah dan
jenis massalah kesehatan yang ditemukan suatu daerah. Dengan diketahuinya
penyebaran penyakit di suatu daerah dapat diketahui dengan tepat
massalah-massalah kesehatan yang ada di daerah tersebut.
Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi massalah kesehatan di suatu
daerah:
1. Apabila telah diketahui
jumlah dan jenis massalah kesehatan maka dapat disusun program kesehatan yang
tepat dan efektif untuk daerah tersebut.
2. Keterangan tentang faktor
penyebab timbulnya massalah kesehatan di suatu daerah. Keterangan tentang
penyebab massalah kesehatan ini dapat diperoleh dengan membandingkan hal-hal
yang khusus yang ada dan tidak ada pada suatu daerah ( Nur Nasry, 2002).
D. Diskusi
AIDS bukan hanya masalah medis, tetapi memberikan dampak sosial, hukum,
ekonomi, budaya dan politik yang sangat rumit.
Saya kira, sekarang ini kita sudah harus bicara masalah penyakit ini dalam
konteks yang lebih komprehensif, terutama ketika mengajukan solusi.
Penyakit seperti HIV/AIDS ini tidak boleh lagi dipandang sebagai masalah
orang medis an sich. Anda lihat bagaimana pemerintah mengatasi banjir? Nanti ada bencana baru
heboh, baru berpikir bagaimana mengurusi para korban banjir, BNPB juga
bekerjanya tidak berusaha menyelesaikan masalah banjir dari akar masalahnya. Tapi
mengurusi pengungsi.
Begitulah mind set banyak orang
di negeri ini
Coba anda semua
lihat program pemberantasan HIV AIDS di Indonesia itu kan aneh? (Search). Mereka, Kemenkes, mulai dengan memetakan ”kelompok kunci” kemudian, menata
organisasinya (kelembagaannya), tetapi pendekatan yang digunakannya adalah
pendekatan medis an sich.
Coba anda buka data program kemenkes untuk HIV ini?
a. Pekan kondom nasional, ini kan targetnya 100% pada kelompok berisiko
Jumlah kondom
gratis yang didistribusikan ke > 4000 outlet kondom antara Juli 2009
dan Juni 2011 secara kumulatif berjumlah 13.830.854 kondom laki-laki dan 548.175 kondom
perempuan. Sedangkan
penjualan kondom komersialpun
makin meningkat dari 69.587.608
di tahun 2006 menjadi 116.701.048 di tahun 2010.
Tapi coba anda lihat data ini:
Artinya apa? Gak ada korelasinya. Karena para pengguna jasa sex (maaf)
lebih menikmati tanpa kondom.
Menterinya buat program ”melalui swasta” kampanye kondom. Ini kan masalah.
Padahal HIV AIDS itu output dari masalah yang lebih besar. Kalau saya ini lebih
pada masalah tidak adanya strong leadership, tapi ini bukan hanya
tentang siapa pemerintah/presidennya. Para pegiat kesehatan juga saya kira
masih setengah-setengah dalam menyelesaikan hal ini. Coba duduk bersama,
bicarakan masalah ini. Jangan hanya libatkan orang-orang medis saja. Libatkan
orang sosiolgi, orang-orang ahli perilaku dan semua pihak.
Karena orang-orang medis hanya akan mengajukan satu solusi ”cegah
penularan”. Lalu yang ada dikepalanya adalah ”kondom”, buat lokalisasi dan
seterusnya. Atau bagaimana berpikir menghadirkan obat.
Ada konsep orang, ruang dan waktu dalam konsep kesehatan masyarakat yang
perlu dilihat. Solusi itu ada di masyarakat. Harus dilihat dalam konteks local problem, local resources, local
solution.
Misalnya begini, bagaimana menyelesaikan masalah PSK ini? Ini kan salah
satu sumber ”penularan utama” HIV. Dari aktivitas sex (angkanya sekitar 90-an%)
Ini salah satu akar masalah yang penting. Ini yang harus diselesaikan. Bukan
dengan kampanye ”penggunaan kondom” bagi para pengguna jasa ini. Kita kan
dibodohi terus dengan program-program kondomisasi ini.
Data-data menunjukkan bahwa tidak ada satupun PSK yang selamanya mau kerja
ini. Mereka biasanya berhenti dari pekerjaan ini, ketika mereka sudah punya
pasangan tetap, atau mereka sudah punya pekerjaan lain. Lihat itu jawa timur.
Lokalisasi doli kan sekarang hampir tutup. Begitu dong cara mengajukan solusi.
Usia yang paling banyak terkena adalah 20 – 49 tahun dan merupakan usia
produktif yang akan mempengaruhi pembangunan suatu negara. (Surasetja,1996).
Ada data begini (di Propinsi Maluku), usia para PSK itu ada di usia
produktif (16-40 tahun). Tapi mayoritas dari mereka itu adalah Janda (angkanya sekitar 70%) sedangnya yang
belum kawin angkanya 20,5% dan yang sudah menikah itu hanya sekitar 10%.
Ini memang masalah ekonomi. Tapi kita mendekatinya dengan cara yang aneh.
Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa sampai sejauh ini, baik di Indonesia
maupun di beberapa negara berkembang 90-95% orang menjerumuskan diri dalam
pelacuran/pekerja seks karena tekanan ekonomi sebagai akibat lanjut dari adanya
kemiskinan struktural yang menjadi kenyataan telanjang di depan mata. Karena
itu, kalau kita berpikir untuk menyelesaikan persoalan pelacuran sampai tuntas
maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mengatasi tekanan ekonomi dan
kemiskinan dalam masyarakat lain (Anonim
2007).
Ada konsep hulu hilir
penyakit. Tapi kan cara kita bekerja menyelesaikan masalah ini hanya di hilir
saja.
Kita memang harus melihat
”akar masalah ini satu-satu” sehingga nanti ketika kita mengajukan solusi bisa
tepat. Tentu ketika bicara tentang penularan melalui jarum suntik (angkanya
penularan dengan cara ini kecil berapa angkanya?) nampaknya butuh
pendekatan yang berbeda.
Tapi karena upaya pemberantasan hal-hal seperti ini ukurannya rumit dan
manfaat yang dirasakan tidak secara langsung.
Penelitian-penelitian kesehatan juga kan begitu, solusi yang diajukan
juga tidak sampai pada mencabut akar masalahnya.
Saya mau mengajukan solusi begini:
1.
Penanganan PSK itu harus
diselesaikan secara ekonomi. Banyak ahli-ahli ekonomi. Yang muslim bisa buka
kitab sucinya untuk ini. Ada infak dan sadaqah dari orang-orang kaya; ada
konsep takaful dalam keluarga; Ada konsep zakat dan ada pemerintah
2.
Para pengguna Napza, coba
cek. Itu kan anak-anak muda yang labil. Mereka dari keluarga yang broken home.
Konsep pendidikan keluarga
3.
Undang-undang perkawinan sekarang
ini kan juga aneh. Belum lagi pemerintah (kemenkes), ada kampanye ”anjuran”
untuk tidak nikah dini dan lalu kampanye kondom dimana-mana. Anomali
Tapi urusan-urusan yang
duitnya kecil begini kan, tidak banyak yang mau. Kalau urusan kuratif kan membuat
kita semua senang. Medis senang, asuransi senang, rumah sakit senang, pabrik
obat juga senang.
*)Dibawakan pada seminar Nasinal, BSMI Sulawesi Selatan, 31 Januari 2014
*)Dibawakan pada seminar Nasinal, BSMI Sulawesi Selatan, 31 Januari 2014
0 komentar:
Posting Komentar