Sabtu, 10 Mei 2014

Membedah Akar Masalah Penyakit "Sosial" *)



A.     ANGKA HIV AIDS DI INDONESIA
Prevalensi HIV dan AIDS di Indonesia secara umum memang masih rendah, tetapi Indonesia telah digolongkan sebagai negara  dengan tingkat epidemi yang terkonsentrasi (concentrated level epidemic) yaitu adanya pervalensi lebih dari 5% pada sub populasi tertentu misalnya penjaja seks dan penyalahgunaan NAPSA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif) (Nuning Kurniasih Dkk, 2006).
Faktor utama terjadi ledakan epidemi HIV dan AIDS di Indonesia pada tahun 2006 dari jumlah kasus HIV dan AIDS 13.424 kasus (HIV 5.230 dan AIDS 8.194 kasus) adalah penggunaan narkoba dengan jarum suntik yang tidak steril (IDU) yaitu 50,3%. Sedangkan pada kelompok heteroseksual yaitu 40,3% tidak termasuk homoseks, dengan estimasinya dari Ditjen PP & PL Depkes RI untuk heteroseks, kasus HIV pada wanita PSK pada tahun 2006  berjumlah 8,910  0rang. Pelanggan dari penjaja seks yang diestimasikan tertular HIV berjumlah 28.340 kasus dan pasangan pelanggan mereka yang di perkirakan tertular HIV 5200 kasus, yang jumlahnya secara keseluruhan 40,3% dari jumlah kasus HIV DAN AIDS keseluruhan (Nuning Kurniasih Dkk, 2006).
Pada tahun 2007, perkembangan situasi epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menunjukan peningkatan yang sangat tajam. Jumlah kasus HIV dan AIDS meningkat terus, dilaporkan pada akhir tahun 2007 terdapat 11.141 pasien AIDS dan 6.066 orang HIV positif. Bahkan hingga 31 maret 2008, kasus AIDS sudah mencapai 11.868 yang terjadi di 32 propinsi dan 194 kabupaten kota. Secara propinsi, rate kumulatif  per jumlah penduduk kasus AIDS tertinggi dilaporkan terjadi di Papua (14,4 kali angka nasional) di susul DKI Jakarta (6,5 kali), dan Bali (4,4 kali), (Ditjen PP dan PL Depkes 2008).
 Kasus HIV dan AIDS, lebih banyak didominasi olah kelompok usia 15-49 tahun sebagai kelompok usia yang aktif dalam massa produktif dengan jumlahnya kasusnya adalah 94.2% dari jumlah total kasus HIV dan AIDS didunia (Nuning Kurniasih Dkk, 2006)

1.       Situasi HIV Juli – September 2013
  •       Jumlah infeksi HIV baru sebanyak 10.203 orang
  •       Infeksi HIV tertinggi ada pada kelompok umur 25-49 tahun (73,4%); kelompok umur 20-24 tahun (14,7) dan kelompok > 50 tahun (5%)
  •       Rasio HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1
  •    Faktor risiko tertinggi adalah hubungan seks berisiko pada heterseksual (51,7%), penggunaan jarum suntik tidak steril (11,6%); Lelaki Seks Lelaki  (10,6%)
 
 2.       Situasi AIDS Juli – September 2013
  •      Jumlah AIDS yang dilaporkan baru sebanyak 1.986 orang
  •        Presentase AIDS tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun (39.5%); 20-29 tahun (22,3%) dan 44-49 tahun (22,1%)
  •      Rasio AIDS antara laki-laki  dan perempuan adalah 2:1
  •     Presentase risiko AIDS tertinggi adalah seks heteroseksual (81,9%); Jarum suntik tidak steril (6,5%), LSL (5,2%) dan ibu positif HIV ke anak (4,3%)
  
B.     KELOMPOK DAN PERILAKU BERISIKO
Berdasarkan pengamatan penularan penyakit HIV dan AIDS dapat disimpulkan tiga modus transmisi HIV antara lain :
                   a. Penularan virus HIV yang paling sering melalui hubungan seksual yaitu virus tersebut dapat menular dari orang yang sudah terinfeksi dengan HIV kepada lawan mainnya (pria dan wanita). Ini adalah cara yang paling umum, meliputi 80-90% dari total kasus sedunia.
                  b.  Penularan melalui darah terjadi karena transfusi dengan darah atau produk yang terinfeksi HIV, melalui jarum yang tidak steril. Resikonya sangat tinggi sampai 90% . ditemukan sekitar 3-5% dari total kasus sedunia.
                   c. Secara vertikal, dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, baik sedang hamil, saat melahirkan atau setelah melahirkan. Risiko sekitar 25-40% dan terdapat 0,1% dari total kasus dunia (Soekidjo Notoatmodjo, 2007).

Secara khusus dikenal berbagai cara penularan AIDS yang dapat melalui:
a.       Transeksual
Penyebaran HIV awalnya terbanyak pada cara ini. Penularan dapat terjadi terhadap heteroseks, homoseksual maupun pada biseks. Perilaku sering berganti-ganti pasangan ataupun berhubungan seks dengan penderita merupakan kasus terbanyak dengan cara ini. Hubungan seks melalui anus lebih berisiko  terinfeksi HIV daripada melalui alat genital. Hal ini disebabkan karena anus lebih peka terhadap gesekan daripada alat genital.

b.       Transfusi
HIV juga bisa melalui transfusi darah dari penderita kepada reseptor atau penerima transfusi darah tersebut. Banyak kejadian menyebutkan bahwa petugas donor darah sulit mendeteksi apakah orang yang akan mendonorkan darahnya tersebut bersih dari HIV atau tidak. Kasus ini banyak terjadi di Rumah sakit atau tempat-tempat pelayanan kesehatan lainnya. Penularan juga bisa terjadi pada alat-alat transfusi yang tidak steril dan dipakai secara berulang-ulang seperti jarum suntik, tindik, tatto atau alat-alat lainya yang dapat menimbulkan luka yang tercemar HIV.

c.       Transplacenta
Seorang ibu yang positif HIV dan sedang mengandung, dapat menularkan penyakit tersebut kepada janin yang dikandungnya atau disebut transplacenta. Janin yang berada dalam tubuh seorang ibu yang positf HIV secara otomatis mendapatkan intake dari induknya yang kemungkinan besar termasuk HIV. Namun dalam beberapa kasus ada bayi yang negatif HIV walau ibunya sudah dipastikan positif, namun kasus ini masih jarang ditemukan.

d.       Transparental
Transparental berkaitan dengan kehidupan di rumah tangga dimana penularan HIV terjadi dari seorang suami kepada istrinya ataupun sebaliknya. Seorang suami atau istri yang memiliki mobilitas tinggi di luar rumah biasanya lebih berisiko terkena HIV daripada yang mobilitasnya rendah. Bisa saja seorang suami atau istri membawa HIV kedalam rumahnya sebagai oleh-oleh dari tugas keluar kota atau keluar negeri.

e.       Transportasi
Faktor transportasi ikut menunjang penyebaran AIDS ke seluruh dunia maupun secara lokal. Hal ini memungkinkan HIV yang dibawa oleh penumpang maupun supir kendaraan berpindah ke jalur perjalanan maupun lokasi tujuan perjalanan.

f.        Tourisme
Arus turisme (Tourisme) baik domestik maupun mancanegara yang semakin cepat mengakibatkan interaksi dan komunikasi sosial yang bisa menyebabkan hubungan seksual yang menjembatani terjadinya penularan HIV kepada masyarakat luas.

g.       Transakatifitas
Maju dan berkembangnya dunia bisnis memberi kemungkinan hubungan antar manusia lebih intens dan komunikasi yang luas antar pelaku bisnis atau para pekerja migran yang meninggalkan rumah/keluarga menjdi rentan untuk kemudian tertular atau menularkan HIV.

h.       Transplantasi
Temuan terbaru dari cara penularan HIV yaitu dengan trasnplantasi. Organ-organ tubuh yang ditransplantasikan bisa saja berasal dari penderita HIV sehingga orang yang menerima transplantasi tersebut kemungkinan besar tertular HIV (Bustan, 2000).
  
Sejatinya, semua yang dilakukan oleh Pelacur/ PSK memenuhi semua unsur dari pengertian "pekerja" yaitu :
  1. ada majikan/mucikari sebagai pemberi kerja
  2. berhubungan dengan produksi dan produktivitas jasa seks
  3. biasanya dilakukan secara terus menerus sampai PSK menikah dan atau punya pasangan tetap, sudah kaya/punya modal usaha dan atau sudah tua
  4. bahwa pemberian jasa sekssungguh-sungguh dilakukan demi uang dan atau karena alasan ekonomi (Anonim, 2007).
 
C.     UPAYA  
WHO merekomendasikan program ABCDE untuk upaya pencegahan AIDS, yaitu :
a.       Abstinence, artinya tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah.
b.       Being Faithful, artinya jika sudah menikah hanya melakukan hubungan seks dengan pasangannya saja.
c.    Condom, artinya jika memassang cara A dan B tidak bisa dipatuhi maka harus digunakan alat pencegahan dengan menggunakan kondom.
d.       Drugs injection, artinya tolak penggunaan NAPZA.
e.     Education, artinya pendidikan dan penyuluhan kesehatan tentang hal-hal yang brkaitan dengan HIV dan AIDS.
 
Kebijakan
      Upaya pencegahan yang efektif termasuk penggunaan kondom 100% pada setiap hubungan seks berisiko, semata-mata hanya untuk memutus rantai penularan HIV.
      Upaya pengendalian HIV dan AIDS merupakan upaya-upaya terpadu dari peningkatan perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, pengobatan dan perawatan berdasarkan data dan fakta ilmiah serta dukungan terhadap ODHA.
      Upaya pengendalian HIV dan AIDS diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah, dan LSM berdasarkan prinsip kemitraan. Masyarakat dan LSM menjadi pelaku utama sedangkan pemerintah berkewajiban mengarahkan, membimbing dan menciptakan suasana yang mendukung terselenggaranya upaya pengendalian HIV dan AIDS.
      Upaya pengendalian HIV dan AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat berperilaku risiko tinggi  tetapi harus pula memperhatikan kelompok masyarakat yang rentan, termasuk yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kelompok marjinal terhadap penularan HIV and AIDS.
 
     Program
  • Intervensi Perubahan Perilaku.
  • Konseling dan Tes HIV.
  • Perawatan, Dukungan dan Pengobatan.
  • Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak.
  • Pengendalian IMS.
  • Pengurangan Dampak Buruk NAPZA Suntik.
  • Kolaborasi TB-HIV.
  • Kewaspadaan Universal.
  • Pengamanan Darah. 
 SUDUT PANDANG RUANG, WAKTU DAN ORANG 
1.       Gambaran Karakteristik Berdasarkan Orang
a.       Umur
Untuk kasus HIV dan AIDS, lebih banyak didominasi olah kelompok usia 15-49 tahun sebagai kelompok usia yang aktif dalam massa produktif dengan jumlahnya kasusnya adalah 94.2% dari jumlah total kasus HIV dan AIDS didunia (Nuning Kurniasih Dkk, 2006)

b. Status Perkawinan
Kegunaan informasi tentang variable satatus perkawinan pada pengamatan epidemiologi ialah untuk mengetahui pengaruh lingkungan terhadap pasangan pasangan suami istri. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa lebih sering di dapati pasangan suami istri yang menderita paenyakit menahun dan keadaan ini bukan secara kebetulan tetapi sangat erat hubunganya sebagai akibat pengaruh dari lingkungan dan cara hidup pasangan suami istri.

c. Jenis Kelamin.
Pada penyakit HIV dan AIDS hampir 82% penderita AIDS adalah pada dewasa dan remaja adalah pria. Namun meskipun  jumlah perempuan dengan kasus HIV dan AIDS lebih rendah, namun perempuan lebih rentan tertular. Beberapa study menunjukan bahwa penularan HIV dari laki-laki ke perempuan melelui hubungan seks dua kali lipat dibandingkan dari perempuan ke laki-laki (Nuning Kurniasih Dkk, 2006).

 d.  Pekerjaan
Pada berbagai jenis penyakit yang timbul pada manusia sering berkaitan dengan jenis pekerjaan seperti pekerja seks komersial beresesiko terhadap infeksi menular seksual seperti ; sipilis, GO, HIV dan AIDS dan lain-lain (Ronald Hutapea, 2003).

            e.  Agama dan Kepercayaan
Secara tidak langsung terdapat hubungan antara agama atau kepercayaan dan angka kesakitan serta kematian pada suatu kelompok masyarakat. Contohnya, resiko menderita penyakit taeniasis lebih tinggi pada kelompok selain penganut agama islam. Dalam hal angka kematian, ada kelompok tertentu yang angka kematiannya cukup tinggi, contohnya aliran kepercayaan atau sekte agama tertentu di AS menyuruh para pengikutnya melakukan bunuh diri secara massal setelah melakukan upacara ritual.

f. Pendidikan


Pendidikan adalah usaha etis dari manusia untuk manusia dan untuk masyarakat manusia, sehingga dapat mengembangkan semua bakat seseorang sampai tingkat optimal dalam batas hakekat individu (Wiku Adisasmoto, 2007). Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti didalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan ke arah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok dan masyarakat (Soekidjo Notoadmojo, 2007).

g. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan itu terjadi melalui panca indera manusia. Pengetahuan juga merupakan domain yang sangat penting dalam pembentukan perilaku seseorang (Soekidjo Notoadmojo, 2007).

2.   Gambaran Karakteristik Berdasarkan Waktu
 Waktu merupakan faktor yang cukup penting dalam menentukan devenisi  setiap ukuran epidemiologis serta merupakan komponen dasar dalam konsep penyebab.
Beberpa kegunaan dari karakteristik waktu antara lain:
1.   Dapat digunakan dalam menentukan massa tunas suatu penyakit menular  tertentu dan massa penularan rata-rata penyakit tersebut.
2.    Dapat memberikan gambaran tentang waktu kejadian maupun waktu keterpaparan serta peristiwa yang mempengaruhi tingkat kerentanan khusus penyakit tertentu umpamanya kegiatan tonsilektomi yang erat hubungannya  dengan terjadinya wabah poli dalam suatu masyarakat.
3.  Efek dari kohort kelahiran dalam massa yang relatif singkat yang mempengaruhi keadaan penyakit dalam suatu masyarakat (umpamanya pengaruh imunisasi terhadap perubahan pola penyakit polio)

Meningkat/menurunya frekuensi penyakit/wabah menjadi lambat bila wabah tersebut diakibatkan oleh faktor yang lambat pengaruhnya sehingga dapat menimbulkan wabah yang berkepanjangan keadaan seperti ini nterutama oleh berbagai penyakit dengan massa tunas yang lama dan berlangsung terus menerus dalam masyarakat seperti halnya penyakit HIV dan AIDS melalui kontak langsung (orang ke orang) atau DBD yang penularannya melalui vektor (Nur Nasry, 2002).

3.   Gambaran Karakteristik Berdasarkan Tempat
Tempat merupakan variabel yang sangat penting dalam mempelajari penyebaran massalah kesehatan karena  jumlah dan jenis massalah kesehatan yang ditemukan suatu daerah. Dengan diketahuinya penyebaran penyakit di suatu daerah dapat diketahui dengan tepat massalah-massalah kesehatan yang ada di daerah tersebut.
Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi massalah kesehatan di suatu daerah:
1.    Apabila telah diketahui jumlah dan jenis massalah kesehatan maka dapat disusun program kesehatan yang tepat dan efektif untuk daerah tersebut.
2.  Keterangan tentang faktor penyebab timbulnya massalah kesehatan di suatu daerah. Keterangan tentang penyebab massalah kesehatan ini dapat diperoleh dengan membandingkan hal-hal yang khusus yang ada dan tidak ada pada suatu daerah ( Nur Nasry, 2002).
 
D.     Diskusi
AIDS bukan hanya masalah medis, tetapi memberikan dampak sosial, hukum, ekonomi, budaya dan politik yang sangat rumit.
Saya kira, sekarang ini kita sudah harus bicara masalah penyakit ini dalam konteks yang lebih komprehensif, terutama ketika mengajukan solusi.
Penyakit seperti HIV/AIDS ini tidak boleh lagi dipandang sebagai masalah orang medis an sich. Anda lihat bagaimana pemerintah mengatasi banjir? Nanti ada bencana baru heboh, baru berpikir bagaimana mengurusi para korban banjir, BNPB juga bekerjanya tidak berusaha menyelesaikan masalah banjir dari akar masalahnya. Tapi mengurusi pengungsi.
Begitulah mind set banyak orang di negeri ini
Coba anda semua lihat program pemberantasan HIV AIDS di Indonesia itu kan aneh? (Search). Mereka, Kemenkes, mulai dengan memetakan ”kelompok kunci” kemudian, menata organisasinya (kelembagaannya), tetapi pendekatan yang digunakannya adalah pendekatan medis an sich.
Coba anda buka data program kemenkes untuk HIV ini?
a. Pekan kondom nasional, ini kan targetnya 100% pada kelompok berisiko

Jumlah kondom gratis yang didistribusikan ke > 4000 outlet kondom antara Juli 2009 dan   Juni 2011 secara kumulatif berjumlah 13.830.854 kondom  laki-laki dan 548.175 kondom  perempuan. Sedangkan  penjualan  kondom  komersialpun  makin  meningkat dari 69.587.608 di tahun 2006 menjadi 116.701.048 di tahun 2010.
Tapi coba anda lihat data ini:

Artinya apa? Gak ada korelasinya. Karena para pengguna jasa sex (maaf) lebih menikmati tanpa kondom.
Menterinya buat program ”melalui swasta” kampanye kondom. Ini kan masalah. Padahal HIV AIDS itu output dari masalah yang lebih besar. Kalau saya ini lebih pada masalah tidak  adanya strong leadership, tapi ini bukan hanya tentang siapa pemerintah/presidennya. Para pegiat kesehatan juga saya kira masih setengah-setengah dalam menyelesaikan hal ini. Coba duduk bersama, bicarakan masalah ini. Jangan hanya libatkan orang-orang medis saja. Libatkan orang sosiolgi, orang-orang ahli perilaku dan semua pihak.
Karena orang-orang medis hanya akan mengajukan satu solusi ”cegah penularan”. Lalu yang ada dikepalanya adalah ”kondom”, buat lokalisasi dan seterusnya. Atau bagaimana berpikir menghadirkan obat.
Ada konsep orang, ruang dan waktu dalam konsep kesehatan masyarakat yang perlu dilihat. Solusi itu ada di masyarakat. Harus dilihat dalam konteks local problem, local resources, local solution.
Misalnya begini, bagaimana menyelesaikan masalah PSK ini? Ini kan salah satu sumber ”penularan utama” HIV. Dari aktivitas sex (angkanya sekitar 90-an%) Ini salah satu akar masalah yang penting. Ini yang harus diselesaikan. Bukan dengan kampanye ”penggunaan kondom” bagi para pengguna jasa ini. Kita kan dibodohi terus dengan program-program kondomisasi ini.
Data-data menunjukkan bahwa tidak ada satupun PSK yang selamanya mau kerja ini. Mereka biasanya berhenti dari pekerjaan ini, ketika mereka sudah punya pasangan tetap, atau mereka sudah punya pekerjaan lain. Lihat itu jawa timur. Lokalisasi doli kan sekarang hampir tutup. Begitu dong cara mengajukan solusi.
Usia yang paling banyak terkena adalah 20 – 49 tahun dan merupakan usia produktif yang akan mempengaruhi pembangunan suatu negara. (Surasetja,1996).
Ada data begini (di Propinsi Maluku), usia para PSK itu ada di usia produktif (16-40 tahun). Tapi mayoritas dari mereka itu adalah Janda (angkanya sekitar 70%) sedangnya yang belum kawin angkanya 20,5% dan yang sudah menikah itu hanya sekitar 10%. Ini memang masalah ekonomi. Tapi kita mendekatinya dengan cara yang aneh.  
Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa sampai sejauh ini, baik di Indonesia maupun di beberapa negara berkembang 90-95% orang menjerumuskan diri dalam pelacuran/pekerja seks karena tekanan ekonomi sebagai akibat lanjut dari adanya kemiskinan struktural yang menjadi kenyataan telanjang di depan mata. Karena itu, kalau kita berpikir untuk menyelesaikan persoalan pelacuran sampai tuntas maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mengatasi tekanan ekonomi dan kemiskinan dalam masyarakat lain  (Anonim 2007).
Ada konsep hulu hilir penyakit. Tapi kan cara kita bekerja menyelesaikan masalah ini hanya di hilir saja.     
Kita memang harus melihat ”akar masalah ini satu-satu” sehingga nanti ketika kita mengajukan solusi bisa tepat. Tentu ketika bicara tentang penularan melalui jarum suntik (angkanya penularan dengan cara ini kecil berapa angkanya?) nampaknya butuh pendekatan yang berbeda.

Tapi karena upaya pemberantasan hal-hal seperti ini ukurannya rumit dan manfaat yang dirasakan tidak secara langsung.  Penelitian-penelitian kesehatan juga kan begitu, solusi yang diajukan juga tidak sampai pada mencabut akar masalahnya.

Saya mau mengajukan solusi begini:
1.    Penanganan PSK itu harus diselesaikan secara ekonomi. Banyak ahli-ahli ekonomi. Yang muslim bisa buka kitab sucinya untuk ini. Ada infak dan sadaqah dari orang-orang kaya; ada konsep takaful dalam keluarga; Ada konsep zakat dan ada pemerintah
2.    Para pengguna Napza, coba cek. Itu kan anak-anak muda yang labil. Mereka dari keluarga yang broken home. Konsep pendidikan keluarga
3.    Undang-undang perkawinan sekarang ini kan juga aneh. Belum lagi pemerintah (kemenkes), ada kampanye ”anjuran” untuk tidak nikah dini dan lalu kampanye kondom dimana-mana. Anomali

Tapi urusan-urusan yang duitnya kecil begini kan, tidak banyak yang mau. Kalau urusan kuratif kan membuat kita semua senang. Medis senang, asuransi senang, rumah sakit senang, pabrik obat juga senang.

*)Dibawakan pada seminar Nasinal, BSMI Sulawesi Selatan, 31 Januari 2014


0 komentar:

Posting Komentar